kabar dulur-dulur Bonek se-nusantara? Pastinya sedang
menunggu-nunggulaga lanjutan IPL antara Persebaya melawan PSMS yang
sedianya digelar sore hari ini di Gelora Bung Tomo kan? Ya, memang
kondisi sekarang sangat-sangat memprihatinkan dengan permasalahan
perijinan yang sulit didapat.
Lantas, be...rita “jegerrrrr-nya”apa mas Bup???
Hmmz, rupanya institusi Kepolisian yang selama ini hanya melakukan
gerakan “underground” kini makin berani menunjukkan eksistensinya dalam
konflik sepakbola nasional kita. Bila sebelum-sebelumnya Kepolisian di
permukaan menampakkan wajahnya sebagai pihak yang netral, kini makin
terlihat sebagai “netral maniak”. Sebelumnya, mungkin harus kujelaskan
dahulu perbedaan antara NETRAL dengan NETRAL MANIAK. Poin yang paling
vital adalah, bila NETRAL itu maka akan tetap melihat dari dua sisi
pihak yang bertikai, dan NETRAL MANIAK itu adalah pihak yang mengaku
netral tapi hanya sebagai kamuflase saja. Contohnya: ngaku netral trapi
nggak pernah mengkritisi KPSI, ngaku netral tapi menyerang secara
membabi buta kepada PSSI, ngaku netral tapi mengagung-agungkan KPSI.
Contoh personal ya banyak juga, antaranya ya Rahmad Darmawan yang ngaku
netral ingin merangkul semua kubu tapi dianya sendiri masuk dalam salah
satu kubu dan mengagung-agungkan kubunya. Sedangkan contoh personal di
forum dunia maya, nggak usah dijelasin, silahkan saja sendiri
mencarinya.
Kembali pada pokok pembahasan mengenai tema kali
ini. Beberapa waktu yang lalu terjadi sebuah wacana yang sangat baik
dari Kapolres Lamongan mengenai Pakta Perdamaian antara Bonek dan
LA-Mania. Tentu saja awalnya hal ini disambut antusias oleh para Bonek
yang ingin menunjukkan eksistensinya sebagai suporter revolusioner yang
tahun lalu menyatakan berdamai dengan Pasoepati. Tapi yang terjadi
belakangan malah sebaliknya, terjadi keributan saat Bonek yang merasa
aman melewati Lamongan (via kereta) saat akan menyaksikan laga
Persebaya melawan tuan rumah Persibo Bojonegoro. Tak hanya pra
pertandingan saja keanehan terjadi, pasca pertandingan pun sama anehnya
ketika gerombolan “beratribut Bonek” melakukan penjarahan di
Bojonegoro. Hal yang belum bisa dijelaskan atau mungkin tak bisa
dijelaskan oleh Kepolisian adalah pelaku aksi penjarahan tersebut
melakukan aksinya dan menampung barang jarahannya ke dalam mobil yang
telah dipersiapkannya. Di kalangan suporter pun hanya santai saja
“sejak kapan ada Bonek yang bawa-bawa mobil hanya buat menjarah?”,
tentu saja hal aneh ini sangat tidak mungkin akan dijawab oleh jajaran
Kepolisian.
Atas kejadian tersebut, Polres Bojonegoro tidak
memberikan perijinan laga kandang kepada Persibo. Tentu saja hal ini
identik dengan pepatah “operasi plastik gagal, cermin dibelah”.
Bukannya menginvestigasiterhadap kejadian yang sebenarnya, tetapi malah
menyalahkan sepakbolanya. Kapolres Lamongan pun setali tiga uang, tak
ada jawaban mengenai kesungguhan Pakta Perdamaian.
Sore ini
sedianya Persebaya menjamu PSMS Medan di Gelora Bung Tomo, namun ijin
pertandingan belum diperoleh dengan berbagai dalih seperti: perayaan
Paskah, rawan demo BBM, dll. Pertanyaanya, apakah di seantero Indonesia
ini hanya di Surabaya saja yang ada perayaan Paskah dan demo BBM?
Apakah di daerah lain di Indonesia ini tidak ada perayaan Paskah dan
demo BBM? Tentu saja hal ini hanya akal-akalan yang dibuat-buat saja
sebagai pembenaran. Nah, hal apa yang mendasari demikian? Marilah kita
sejenak mengupas kejadian beberapa bulan yang lalu dibawah ini.
Saat laga antara tuan rumah Persija Jakarta melawan Persebaya Surabaya
sedianya digelar di Sleman, ijin dari Kepolisian pun didapat di
detik-detik terakhir jelang pertandingan dilangsungkan. Ternyata oh
ternyata ada “komando” dari pusat untuk menggagalkan laga tersebut.
Kapolri kemana aja pak? Oooooh pak Kapolri mendapat telepon yang
mengatakan kira-kira begini “Pak, ini Bonek sudah ada 5000-an orang di
stadion. Kalo pertandingan batal digelar dan Bonek berbuat rusuh, maka
akan memperburuk citra Jogja pak”. Yang tadinya ngotot tidak memberi
ijin pertandingan pun akhirnya hanya sendika dawuh karena Kapolri
berubah pikiran. Tentunya keputusan Kepolisian merubah pendiriannya
karena sudah berkonsultasi dengan “big boss” dulu dong sodaraaaaa.
Secara logis saja, ijin Persija ISL yang digelar di Stadion Mandala
Krida, Jogja saja ijinnya mudah banget didapat, mengapa ini bisa
dipersulit? Bahkan kalau mau jujur, suporter Persija dan Persiwa rusuh
di dalam stadion. Bandingkan dengan kejadian di Bojonegoro yang di
dalam stadion, Bonek dan Boromania beradu kreatifitas mendukung tim
kesayangannya dengan damai, tapi di luar stadion rusuh tanpa ada
investigasi Kepolisian. Tanya kenapa?
Melihat fakta diatas,
maka tentu saja pikiran sebagian besar masyarakat yang mengamati
fenomena aneh ini terarah pada saat pemilihan Kapolri beberapa waktu
yang lalu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa nama Timur Pradopo adalah
“nama pesanan” oleh Aburizal Bakrie kepada SBY. Entah apa motifnya,
bisa saja asumsi yang paling pas adalah politik dagang sapi atas
beberapa kasus yang membelit Partai Demokrat dan Partai Golkar, apalagi
kini sang Ketua Umum Partai Golkar telah resmi menyatakan pencalonan
dirinya untuk Pilpres 2014. Intuisi Kepolisian tersandera oleh
kepentingan dua parpol besar ini, tak terkecuali dengan memanfaatkan
sepakbola sebagai sarana pembenaran.
Bandingkan dengan
kejadian LPI pada Januari 2011 lalu. LPI memperoleh perijinan kompetisi
dari BOPI (resmi BOPI), dan peserta kompetisinya pun adalah tim-tim
yang sebagian besar bukan merupakan anggota PSSI. Kini Kepolisian
berdalih ijin penyelengaraan ISL diperoleh dari BOPI, padahal hanya
sebatas rekomendasi Ketua Harian BOPI, bukan keputusan resmi BOPI. Dan
yang paling penting adalah, semua tim yang berlaga di ISL sampai saat
ini masih terdaftar sebagai anggota PSSI. Di dunia ini yang mana
kompetisi yang diikuti oleh anggota federasi sepakbola tapi tak tunduk
pada induk organisasinya?
Ohhh Pak Timur Pradopo, okelah kalo begitu ;)
readmore »»